Minggu, 22 April 2012

Kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri)




Kelinci Sumatra (Nesolagus netscheri), juga dikenal dengan nama Kelinci Sumatra telinga pendek atau Kelinci belang Sumatra, adalah jenis kelinci liar yang hanya dapat ditemukan dihutan tropis di pegunungan Bukit Barisan di pulau Sumatra, Indonesia. Populasi kelinci Sumatra mengalami penurunan yang signifikan yang diakibatkan oleh perambahan hutan yang agresif di pulau Sumatra.

Berukuran sekitar 40 cm panjangnya, kelinci Sumatra memiliki garis-garis kecoklatan, dengan ekor berwarna merah, dan bawah perutnya berwarna putih. Biasanya tinggal di hutan dengan ketinggian 600-1400 meter dari permukaan laut. Kelinci ini merupakan hewan nokturnal, dengan menempati bekas atau liang hewan lain. Makanannya adalah pucuk daun muda dan tanaman yang berukuran pendek, namun kelinci hutan yang ditangkarkan memakan biji-bijian dan buah-buahan.
Kelinci Sumatera

Pengamatan telah dilaporkan sejak tahun 1972 sebanyak 3 kali, paling baru adalah akhir Januari 2007 ketika kamera jebakan dipasang di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 
Kelinci sumatra atau Nesolagus netscheri tercatat sebagai kelinci paling langka di dunia. Hewan inidinyatakan hampir punah oleh International Union for Conservation of Nature. Sebelumnya, hewan ini pernah dikira punah hingga pada tahun 1990-an berhasil terfoto oleh seseorang. Kelinci ini terletak pada tempat yang sangat terisolasi, hanya terdapat di hutan-hutan Bukit Barisan, Sumatra. Karena mereka terletak di tempat yang sangat terisolasi, informasi tentang perilaku dan habitatnya sangat minimal. Bahkan, masyarakat setempat tak memiliki bahasa lokal untuk menyebutnya dan ada yang tak menyadari keberadaannya.

Berdasarkan informasi yang sangat minimal itu, diketahui bahwa kelinci ini aktif pada malam hari. Di siang hari, mereka menghabiskan waktu untuk bersembunyi di dalam liang yang ditinggalkan hewan lain. Sejauh ini, tak ada bukti bahwa mereka menggali lubangnya sendiri.

Kelinci sumatra terlihat menarik sebab memiliki warna bulu yang bermotif garis. Diperkirakan, warna bulu tersebut dimiliki agar kelinci itu bisa menyesuaikan diri dan bersembunyi di dasar hutan hujan tropis. Secara umum, kelinci ini memiliki bulu yang tebal dan lembut, garis-garis yang berwarna coklat kacang, serta satu garis yang memanjang dari tengkuk hingga ekor. Ciri lainnya adalah memiliki ekor warna merah, berbobot lebih kurang 1,5 kg, panjang sekitar 40 cm dan telinga yang lebih kecil dari kelinci umumnya. Kelinci ini merupakan hewan nocturnal, dengan menempati bekas atau liang hewan lain.

Makananannya adalah pucuk daun muda dan tanaman yang berukuran pendek, namun kelinci hutan yang ditangkarkan memakan biji-bijian dan buah-buahan. Kelinci ini tidak mencari makan seperti hewan lainnya yang berkeliling wilayah tertentu. Mereka memilih untuk hanya berada di daerah sekitar liangnya dan memakan tanaman apa saja yang ada di sana. Tentang reproduksinya, belum ada data yang cukup jelas karena kajian tentang jenis kelinci ini jarang.

IKAN BATAK (Neolissochillus Thienemanni sumatranus)


IKAN BATAK (Neolissochillus Thienemanni sumatranus) 



Dari 350 jenis biota air yang tercantum dalam "The 2000 IUCN Redlist of the Threatened Species" (IUCN 2001) dapat diidentifrkasi 14 jenis ikan air tawar Sumatra yang terancam punah, dan 7 jenis diantaranya (50%) termasuk ikan endemic Sumatra. Salah satunya adalah IKAN BATAK (IHAN) Neolissochillus Thienemanni sumatranus yang hanya ada di Danau Toba- Sumatera Utara



Danau Toba banyak menyimpan spesies endemik yang sangat beragam. Terutama berupa ikan Batak (ihan), spesies Neolissochillus Thienemanni yang hanya ada di Danau Toba. Berdasarkan kriteria IUCN (International Union for the Conservation of Nature), jenis ikan ini sudah diklasifikasikan sebagai terancam (Vulnerable).



Dulu ikan ini sering dihidangkan sebagai sajian istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat. Sayangnya, sekarang sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut di Danau Toba. Spesies ikan endemik Danau Toba ini mulai terancam punah akibat kerusakan lingkungan.



Ikan semah (Tor spp., syn. Labeobarbus, suku Cyprinidae; juga dipakai untuk jenis-jenis Neolissochilus dan Naziritor di India) adalah ikan air tawar yang berasal dari Indo-Australia dan anak benua India. Nama lain ikan ini adalah tambra (Jawa), sapan (Kalimantan)[1], ihan batak atau curong (bahasa Toba)[2], mahseer, atau kelah (Malaysia). Nama "semah" populer dipakai di Sumatra bagian tengah hingga ke selatan.

Ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan kelas tinggi, dan yang biasa dijumpai dan dikonsumsi di Indonesia dan Malaysiaadalah Tor douronesis (semah biasa), T. tambra (tambra), T. tambroides (tambra), dan T. soro (kancera)[3]. Ikan tambra dan semah dapat mencapai panjang sekitar satu meter[4], walaupun tangkapan yang dijual biasanya berukuran maksimum 30 cm.


Ikan ini hidup di sungai-sungai beraliran deras di pegunungan dan populasi sangat terancam akibat penangkapan berlebihan. Indikasi yang terlihat adalah semakin jarang terlihat, ukuran tangkapan semakin kecil, dan distribusi menurun. Bahkan telah dilaporkan pula penangkapan di beberapa taman nasional. Pihak berwenang di Indonesia (Balai Benih Ikan lokal), seperti di Jawa Tengah,[5], Padang Pariaman, dan beberapa kabupaten pedalaman Jambi telah mulai mengembangkan teknologi pembiakan menggunakan pemijahan buatan dan paket budidaya. Selain itu, di Padang Pariaman aturan adat setempat juga ditegakkan dengan pemberlakuan zona larangan, penyangga, dan penangkapan. Penangkapan hanya dilakukan apabila terdapat izin dari kerapatan adat.

Ikan Batak

IKAN BATAK
yang dikenal secara umum di Indonesia adalah dari genus Tor, yang di Tanah Batak dikenal dengan Dekke Jurung-jurung (Ikan Jurung). Memang benar Ikan Jurung ini dinamaiIkan Batak, namun Ikan Batak yang disebut sebagai Ihan adalah ikan asli Batak yang sudah menuju kepunahan atau memang sudah punah adalah dari genus Neolissochilus.

Ikan Batak yang secara umum di Indonesia memiliki nama-nama lain di setiap daerah seperti: Ikan Jurung (Sumatra Utara), Ikan Kerling (Aceh), Iken Pedih (Gayo), Ikan Gariang (Padang), Ikan Semah (Palembang), Ikan dewa (Jawa Barat), Ikan Kancra bodas, Kencara (Kuningan Jawa Barat), Ikan Tambra, Tombro (Jawa), Ikan Kelah, Ikan Sultan (Malaysia), Ikan Mahseer (Internasional), dan mungkin masih banyak nama lainnya.

Secara morfology memang sulit untuk membedakan antara genus Tor dan genus Neolissochilus, bahkan boleh dikata ada kemiripan bentuk dengan jenis ikan mas kecuali ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan mas (Cyprinus Carpio) yang memang dari keluarga yang sama yaitu family Cyprinidae. Kemiripan inilah yang membuat orang-orang lantas menamakan Ikan Jurung sebagai Ikan Batak, padahal Ikan Batak Asli adalah yang disebut Ihan adalah dari genus Neolissochilus yang sudah menuju kepunahan, dan salah satu spesiesnya Neolissochilus thienemanni, Ahl 1933 adalah ikan endemik Danau Toba dan umumnya di Tanah Batak.


Ikan batak (To toro) tak hanya bernilai ekonomis sangat tinggi, tetapi juga bernilai budaya yang tinggi, khususnya bagi Suku Batak, Sumatra Utara. Menurut salah seorang tetua, ikan yang dulu banyak ditemukan di Danau Toba ini sering dihidangkan dalam upacara adat. Harganya bisa mencapai Rp. 350.000/kg.

Di Danau Toba, Tor toro hidup dengan janis lainnya, yaitu Neolissochilus thieneman, Neolissochilus somatranus, Neolissochilus longipinis. Selain di Sumatra Utara, khususnya di Danau Toba, ikan inipun bisa ditemukan di Kuningan, Sumedang dan Kediri. Di Kuningan, ikan batak dipelihara di kolam-kolam tua dan dianggap kramat, dengan sebutan “ Ikan Dewa “.

Bulan Nopember 2009, Tim peneliti dari Balai Riset Perairan Umum (BRPU) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia berhasil menemukan 4 (empat) spesies ikan dari genus Tor (Ikan Batak = Ikan Jurung) di Danau Laut Tawar Takengon Aceh Tengah. Penemuan ini sangat menggembirakan karena di Danau Laut Tawar itu menjadi habitat terbanyak spesies ini, dimana sebelumnya di Jawa Barat hanya terdapat 3 spesies dari genus Tor ini. Spesies yang ditemukan di Danau Laut Tawar ini adalah species Tor Douronensis, Tor Tambra, Tor Soro dan Tor Tambroides.


Kualitas air Yang Dibutuhkan Ikan Batak
Hal utama yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan batak adalah kualitas air. Ternyata kualitas yang sesuai dengan kehidupan ikan batak berbeda dengan ikan mas, lele dan ikan-ikan lainnya. Ikan mas dan lele mampu hidup di air keruh, namun ikan batak tidak, lebih hidup di air jernih dan lebih senang di ari jernih dan deras. 

Menurut Balai Riset Perikanan Air Tawar, Pusat Riset Perikanan Budidaya, kualitas air yang diinginkan ikan batak adalah sebagai berikut : oksigen terlarut 6,8 – 7,0 mg/lt, pH 6,0, suhu 21 – 24 O C, karbondioksida 2,2 – 4,5 mg/l, kesadahan 12,3 mg/l, debit air 6,0 – 6,35 liter/detik dan kecerahan lebih dari 2,5 m.